Kaidah Fikih: Segala Sesuatu Tergantung Tujuannya (Bag. 1)
Menjadi kaidah pembuka dalam pembahasan kaidah fikih yaitu salah satu kaidah di antara kaidah kubra, kaidah tersebut berbunyi:
الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
“Segala sesuatu tergantung pada tujuannya.”
Kedudukan dan urgensi kaidah ini
Kaidah ini merupakan kaidah yang sangat agung kedudukannya. Dalam kaidah ini, terkandung pondasi amalan-amalan hati, yang dengannya dapat diketahui sah atau tidaknya amalan-amalan yang dikerjakan. Sebagaimana pula pahala dan hukuman berputar pembahasannya pada kaidah ini.
Terlebih kaidah ini menjadi semakin penting kedudukannya dikarenakan kaidah ini bersandar kepada hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya amalan itu tergantung dari niatnya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Para ulama menyebutkan bahwa hadis di atas adalah sepertiga ilmu. Sebagian ulama menjelaskan tentang mengapa disebut sepertiga ilmu, yaitu karena amalan seorang hamba terdapat pada tiga hal:
- Amalan hati
- Amalan lisan
- Amalan anggota tubuh
Sehingga niat termasuk dari salah satu dari tiga amalan di atas, yaitu “amalan hati”.
Sebagian ulama, ada pula yang menjelaskan bahwasanya hadis di atas adalah salah satu dari tiga hadis yang menjadi dasar kembalinya segala hukum. Kendati para ulama berselisih perihal hadis-hadis yang dimaksud, namun mereka bersepakat pada satu hadis, yaitu hadis yang telah disebutkan di atas. Artinya, hadis di atas adalah sebagai landasan kembalinya segala hukum yang ada di dalam agama Islam.
Bahkan, telah dinukil sebuah statement (perkataan) dari Imam Asy-Syafi’i bahwasanya hadis di atas masuk dalam tujuh puluh bab di antara bab-bab ilmu yang ada. Hal tersebut menunjukkan pentingnya masalah niat dan tujuan dalam segala aktivitas yang ada.
Makna kaidah
Secara umum, makna dari kaidah الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا adalah,
“Bahwasanya segala bentuk aktivitas mukallaf (hamba), baik berupa ucapan, perbuatan, atau keyakinan, masing-masing dapat berbeda (hasilnya) tergantung dari tujuan dan niatnya.”
Mungkin terbesit sebuah pertanyaan, mengapa para ulama tidak menggunakan saja istilah atau lafaz yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu sebagaimana hadis di atas.
Jawabannya, mengapa para ulama tidak menggunakan lafadz إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ saja dibandingkan lafaz الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا, dikarenakan menggunakan kata الأمور (segala perkara) lebih umum dibandingkan menggunakan lafaz الأعمال (amalan-amalan).
Sebab الأمور (segala perkara) mencakup segala perbuatan, ucapan, dan keyakinan. Adapun lafaz الأعمال lebih khusus cakupannya dibandingkan dengan الأمور. Tidak berbeda halnya dengan lafaz المقاصد (tujuan-tujuan) dengan النيات (niat). Mengapa para ulama tidak menggunakan lafaz niat dalam kaidah kubra ini, dikarenakan lafaz المقاصد lebih umum pula cakupannya.
Karena sebab itulah, para ulama menggunakan lafaz الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا, mengingat cakupannya lebih umum dan lebih mengarah kepada hal-hal yang dimaksud.
Dalil-dalil dari kaidah ini
Kaidah ini sejatinya didukung oleh dalil-dalil yang lain dari Al-Qur’an dan As-Sunnah beserta ijma’. Namun, pondasi utama kaidah ini adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah disebutkan di atas. Yaitu hadis dari Umar bin Khattab radiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّما الأعمالُ بالنِّيَّاتِ وإنَّما لِكلِّ امرئٍ ما نوى فمن كانت هجرتُهُ إلى اللَّهِ ورسولِهِ فَهجرتُهُ إلى اللَّهِ ورسولِهِ ومن كانت هجرتُهُ إلى دنيا يصيبُها أو امرأةٍ ينْكحُها فَهجرتُهُ إلى ما هاجرَ إليْهِ
“Sesungguhnya amalan-amalan tergantung dari niatnya, dan sesungguhnya seseorang akan dibalas sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang hijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya terhitung karena Allah dan Rasul-Nya. Namun barangsiapa yang hijrah karena dunia yang ingin diperolehnya, atau wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya terhitung hanya sebatas dari tujuannya itu.” (Muttafaqun ‘alaih)
Di antara dalil akan kaidah ini adalah firman Allah Ta’ala,
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَدٰوةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيْدُوْنَ وَجْهَهٗ
“Bersabarlah engkau (Nabi Muhammad) bersama orang-orang yang menyeru Rabbnya pada pagi dan petang hari dengan mengharap wajah-Nya.” (QS. Al-Kahfi: 28)
Pada ayat di atas, terdapat dalil agar seseorang senantiasa memperhatikan tujuan dan niatnya dalam beramal, yaitu dalam bentuk “mengharap wajah Allah dalam beramal”. Pada penggunaan kata “mengharap” terdapat maksud dari niat dan tujuan. Sehingga tujuan dan niat dalam ibadah hendaknya hanya diserahkan kepada Allah semata dan tidak kepada yang lainnya.
Di antaranya pula firman Allah Ta’ala,
۞ وَمَنْ يُّهَاجِرْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ يَجِدْ فِى الْاَرْضِ مُرٰغَمًا كَثِيْرًا وَّسَعَةً ۗوَمَنْ يَّخْرُجْ مِنْۢ بَيْتِهٖ مُهَاجِرًا اِلَى اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ اَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِ ۗوَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا ࣖ
“Siapa yang berhijrah di jalan Allah, niscaya akan mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang banyak dan kelapangan (rezeki dan hidup). Siapa yang keluar dari rumahnya untuk berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, kemudian meninggal (sebelum sampai ke tempat tujuan), sungguh pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa:100)
Pada ayat di atas, terdapat petunjuk akan pentingnya masalah ikhlas dalam niat pada suatu amal. Terdapat kisah menarik pada ayat ini, yang dibawakan oleh Al-Imam Ath-Thabari rahimahullah dalam tafsirnya.
Kisahnya ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke kota Madinah, ada seorang kakek tua yang telah masuk Islam. Ia berasal dari Bani Laits. Kakek tua tersebut tinggal di Makkah dan belum sempat ikut hijrah ke Madinah. Suatu hari, beliau mengatakan kepada keluarganya,
مَا أَنَا بِبَائِتٍ اللَّيْلَة بِمَكَّة
“Saya tidak bisa sama sekali tidur malam di Makkah!”
Hal ini disebabkan kecintaannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudan beliau pun memaksakan diri untuk keluar dari Makkah dan hijrah ke Madinah dalam keadaan sakit. Tatkala beliau sampai di Tan’im dalam perjalanan menuju Madinah, beliaupun wafat. Kemudian turunlah ayat di atas.
Pelajaran yang dapat dipetik, betapa besarnya perkara niat dalam agama Islam. Orang tua tersebut belum sampai, bahkan bisa dikatakan masih sangat jauh untuk sampai ke Madinah. Namun, ia mendapatkan pahala hijrah disebabkan niatnya yang jujur dan tulus, karena kecintaannya kepada agama Islam dan kepada Nabinya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.
[Bersambung]
Baca juga: Hukum Wasilah (Sarana) Tergantung pada Tujuan-Tujuannya
***
Depok, 20 Jumadal Akhirah 1447/ 23 November 2025
Penulis: Muhammad Zia Abdurrofi
Artikel Muslim.or.id
Referensi:
Al-Wajiz fi Idaahi Qowa’id Al-Fiqhi Al-Kulliyah, karya Dr. Muhammad Shidqi bin Ahmad, dan beberapa referensi lainnya.
Artikel asli: https://muslim.or.id/110660-kaidah-fikih-segala-sesuatu-tergantung-tujuannya-bag-1.html